Koran Nainggolan

Koran Nainggolan
Sponsored links

Gang ini bukan jalan buntu. Namun, di ujung gang ada toko kelontong milik Nainggolan yang tak tertelan jaman. Usia kayu seng serta kayu penyangga sudah uzur, sedikit membuktikan ketangguhan dari masa lalu. Nainggolan bersama kelontongnya terus menunjukkan eksistensi sebagai bukti kalau tak semua hal darinya bisa diambil oleh perubahan zaman. 

Hampir pasti waktu Nainggolan dihabiskan bersama toko kelontongnya. Tak seperti dulu, kelontong Nainggolan sekarang sepi pengunjung bahkan untuk sekedar membaca koran. Ya, Nainggolan pernah berjaya bersama koran-korannya belasan tahun lalu. Dia kala itu menjadi agen besar untuk pasokan koran beberapa wilayah sentral, seperti terminal, lampu merah bahkan tak jarang hingga ke bus-bus lintas kota. Jangan tanya soal berapa banyak anak buah yang Nainggolan pekerjakan kala itu. Mereka tersebar di mana-mana. Menjajal koran kala itu adalah lapangan kerja yang menjanjikan. Satu koran saja bisa untung tiga puluh sampai lima puluh perak. “kalikan saja kalau saya sehari membawa seratus sampai seratus lima puluh lembar koran,” Ujar Oman yang telah belasan tahun menjajal koran Nainggolan di terminal. 

Sponsored links

Nainggolan beranjak dari tempat duduk menuju gudang belakang. Di sana dia memilah-milah koran barangkali ada headline berita jaman itu yang ia lewatkan. Nainggolan menampung koran bukan hanya untuk tujuan waralaba tetapi juga penikmat koran. Karena itu, sebelum asap-asap kendaraan mengepul di langit-langit kota, Nainggolan bersama para penjaja koran sudah berkumpul di kelontong. Semua duduk dan melahap setiap berita yang ada di sana (koran). “supaya kalian-kalian tidak melongo ketika orang berjas tanya berita apa,” ujarnya. Maka selain mendapatkan uang mereka juga mendapat wawasan. 

Dalam gudang yang penuh tumpukan koran itu, Nainggolan mengenang pahitnya hidup tanpa materi di kota besar. Serba kekurangan. Dia memulai usaha kelontong dengan setengah harapan mampu bertahan hidup di kota. Sampai saat ia berjumpa dengan agen koran di terminal. Nainggolan menawarkan diri menjadi anak buah sebab dia melihat para penjaja koran kala itu datang lebih pagi dan ludes terjual sebelum petang. Awalnya Nainggolan ragu dengan pendapatan penjaja koran dalam sehari. Namun, hari berikutnya Nainggolan sangat antusias menjajal koran di lampu merah. “Untuk seterusnya kelontong ini kamu yang urusin,”ujarnya pada Irma, ibu dari dua anaknya. Siapa sangka dalam waktu sebulan agen Nainggolan menawarkan dirinya menjadi agen cabang untuk beberapa titik yang ditangani. Nainggolan senang bukan kepalang menyambut rezeki di siang bolong itu. Sang agen ia bawa ke kelontongnya dengan maksud meyakinkan sang agen kalau Nainggolan pusat untuk menjajal koran-koran itu. Jadilah Nainggolan seorang agen mulai saat itu. 

Oman dan Mustafah adalah anak buah pertama Nainggolan yang dengan susah payah ia yakinkan bahwa penghasilan penjaja koran menjanjikan. “kau bisa sekolahkan Lusi, anakmu itu,” ucap Nainggolan pada telinga Oman. Dua hari kemudian Oman dan Mustafah berhenti dari tukang ojek dan menjajal koran Nainggolan. Seperti janji awal Nainggolan berangsur-angsur pemasukan Oman dan Mustafah semakin menjanjikan. Tak satu pun hari mereka lewatkan untuk tidak menjajal koran. Pergi pagi buta dan koran ludes diambil massa sebelum petang menghampiri. Menjanjikan, bukan? Bahkan belum tepat setahun menjadi penjaja koran, Oman sudah menyekolahkan kembali Lusi yang sempat putus sekolah. Mustafah pun demikian. Istrinya sudah tak lagi doyan mengomel soal minyak goreng habis. “Kau sudah bertanggung jawab menjadi suami yang baik… “ ketus sang istri. 

Nainggolan masih menunggu orang datang ke kelontongnya. Tak masalah kalau orang itu mampir untuk keperluan selain membeli. Intinya mampir sembari menikmati suguhan koran. Pada dinding belakang kelontong bergantung gambar-gambar kejayaan masa lalu Nainggolan bersama koran-korannya. Di sana juga ada foto wisuda sang anak didampingi istri di sebelah kiri dan Nainggolan di sisi lainya sambil menenteng koran. Nainggolan sudah berniat dari awal memasukkan koran ke dalam foto sarjana sang anak. “Aku membiayai seluruh sekolahnya dengan koran ini,” ujar Nainggolan saat seminggu lalu seorang pelancong menyambangi kelontongnya. Anaknya juga sempat menjadi penjaja koran ayahnya. Namun hanya bertahan beberapa bulan saja. Nainggolan mau menyekolahkan ketiga anaknya. “Supaya kelak nasib kalian tidak sepahit ayahmu ini,”katanya.

Di ujung paling kiri bingkai foto sembilan puluh kali tiga puluh menutup hampir seperempat dinding bagian atas. “Itu foto saya bersama para penjaja koran,” ketusnya sambil melirik gambar berusia belasan tahun itu. Di sana Oman, Mustafah, dan tentu saja Nainggolan berdiri di antara puluhan penjaja koran yang masih muda. Saat foto itu diambil semua tangan menenteng seikat koran kecuali ketiga senior tadi. “Mereka sudah pensiun menjajal ketika banyak anggota baru berdatangan,” jelas Nainggolan mengenai Oman dan Mustafah. Raut muka mereka cerah, secerah optimis mereka akan penghasilan menjajal koran Nainggolan. Demikian Ramli, seorang sarjana yang berbalik profesi karena belum menemukan ladang mengais rezeki. Sekarang rumahnya di jalan masuk gang, ada tulisan warung soto di depannya. 

Pengabadian gambar itu ternyata awal dari situasi yang tak pernah diinginkan Nainggolan beserta semua yang ada di dalam foto itu. Setahun awal koran-koran mereka hampir selalu habis meskipun tidak secepat masa Oman dan Mustafah. “Mungkin karena banyak anggota baru jadi mereka agak ragu membeli,” Nainggolan meyakinkan diri sendiri dan semua jajaran di bawahnya. 

Tahun kedua dan seterusnya penurunan minat terhadap koran Nainggolan terlihat jelas. Bahkan laku setengah pun sudah beruntung. Nainggolan pun turun tangan memecahkan persoalan ini. Diceknya di lapangan barangkali bawahannya menjajal koran di tempat yang tidak seharusnya. Namun tidak. Semua bekerja sesuai arahan dari puncak. Terus apa?, Nainggolan membatin. 

Pagi berikutnya Nainggolan turun ke jalan menjajal koran. Maksud utama dia bukan supaya koran itu laku tapi supaya tahu kenapa koran tidak diminati sekarang. Di lampu merah itu dia menawarkan korannya satu per satu sembari menjelaskan berita apa hari itu. Dua tiga orang membeli tapi hanya pengguna roda dua. Mereka yang duduk di balik kaca mobil sibuk dengan handphone-nya masing-masing. Tak membuka kaca mobil apalagi membeli. Namun mobil hitam yang antre paling belakang menurunkan kaca kemudian memanggil Nainggolan. Pada panjajal senior itu dia bertanya informasi yang ada di koran. Nainggolan dengan percaya diri menjelaskan semua berita penting hari itu. Laki-laki di mobil itu tersenyum tipis. “Ooo… Koranmu kurang update. Coba cek di sini, lengkap dan cepat,” ujarnya sambil menunjukkan Nainggolan sebuah ponsel. Nainggolan hendak membalas ocehan itu tapi lampu hijau keburu datang dan laki-laki itu lenyap dari hadapannya. 

Sejak perjumpaan di lampu merah itu Nainggolan tak pergi keluar dari kelontongan. Kepalanya pusing mencari celah jalan keluar dari minat koran yang semakin terjun bebas. Sudah berapa anggota yang minta mundur. “Kami sudah cukup modal untuk buka usaha,” kata mereka membual. Koran-koran Nainggolan terus bertumpuk di gudang belakang sebab pasokan terus berdatangan tapi tidak sebanding dengan yang terjual di lampu merah dan terminal. Hari berganti minggu dan minggu pun berganti bulan, koran-koran Nainggolan semakin membanjiri gudang belakang. Satu per satu pun para anggotanya berhenti secara tidak resmi. Setiap pagi mereka tak datang lagi ke kelontong mengambil koran tapi menenteng cangkul untuk berladang. Masa Nainggolan mulai redup bersama koran-korannya di gudang belakang. 

Baca Juga: Pengakuan Yusman

Nainggolan menarik perhatiannya pada foto besar itu. Di luar kelontongan mustafah lewat dengan tangan yang menggenggam sesuatu. Nainggolan dengan semangat mengajaknya bersama-sama mengunyah (baca: membaca) koran sekadar mengulang romantisme masa lalu. “Maaf, koranmu kurang lengkap dan cepat daripada koranku ini,” balas Mustafah  sambil menunjukkan ponsel terbarunya [*]

Sponsored links
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNY

Sejak lama menyukai sastra terutama menulis cerpen dan juga sangat sensitif terhadap isu sosial politik.

Artikel Lainnya: