Curhat dari Sudut Kota

Curhat dari Sudut Kota
Sponsored links

Sampai saat kamu membaca cerita ini, wanita paruh baya itu belum berhenti meminta-minta.

Orang-orang memanggilnya si tante begal. Wilayah aksinya di sekitar Jln. Minto, lorong sempit di sudut kota yang hanya muat untuk satu truk. Dia bekerja setiap hari. Bahkan ketika pengantar koran langganan bapak tiba, si tante begal sudah sedari tadi bekerja. Tak jarang dia memotong jalan sang pengantar koran, meskipun dia tahu sedikit kemungkinan berhasil. Dia tak pernah terlambat untuk bekerja. Dengan tangan kiri menggenggam sekotak pensil, tangan yang lain bersiap menghentikan siapa dan apa saja yang lewat. Semua orang ditawarinya pensil. Satu dua orang terlihat keheranan. Tak sedikit pula yang takut. “Bantu, saya mas. Saya belum makan dari kemarin.” Dia menyodorkan pensil. Terlihat memaksa. Dan memang memaksa. Itulah trik tante begal. Sejurus kemudian orang di depannya akan memasukkan tangan ke kantong celana. Dan berhasil.

Sponsored links

Tak ada data mutlak bulan dan tanggal berapa tante begal muncul di gang sempit itu. Awalnya orang mengira dia sedang mempromosikan jualan baru. Itu terjadi setahun yang lalu. Tak banyak orang menaruh perhatian padanya. Orang jalan sambil lalu, dengan motor, sepeda, sementara dia menjajal jualan yang hanya berupa pensil. Karena kemunculannya makin lama tak pernah hilang, orang mulai melirik dan tak jarang pula ingin tahu apa sebenarnya yang dilakukan tante begal ini. Banyak pengguna jalan akhirnya menyamakan dia dengan para pengamen yang sering muncul di Cafe dan rumah makan setiap malam, bernyanyi kemudian menagih imbalan.

Penamaan “tante begal” bukan hal yang dibuat-buat. Sering kali orang-orang yang melewati gang sempit itu resah dibuatnya. Dia menghentikan pengguna jalan lalu memaksa mereka membeli pensil yang ada di tangannya. Bahkan pengguna motor dan sepeda pun tak takut dihalanginya. Suatu kali aku berpapasan dengannya dia gang itu. Hari masih pagi dan di sana hanya ada kami berdua. Aku di atas sepeda di ujung jembatan dan dia tegak berdiri di bawah rimbunan pohon Mangga yang sebentar lagi berbuah. Aku memikirkan yang cara lain agar terhindar darinya. Namun sulit. Jadi kupakai cara kebanyakan orang. Aku mendayung sepeda lebih kencang bahkan sangat kencang. Sekejap aku merasa tengah mengikuti balapan sepeda. Rambutku beterbangan dan baju luarku terangkat ditiup angin. Seolah tak mau kehilangan pelanggan dia pun sepertinya memikirkan cara menghentikan laju sepedaku. Langkah kakinya pasti. Di tengah jalan dua meter kotor itu kakinya terhenti. Sejurus kemudian bola matanya menangkap laju sepedaku. Lengan tak berisi itu ia lentangkan. Hampir menutup seluruh bahu jalan. Aku kaget bukan kepalang. Lima ayunan lagi aku akan menabrak dadanya.

Ya, dia di hadapanku sekarang. Bola matanya layu seperti sedang meminta belas kasihan. Tangan keriput itu menyodorkan sebatang pensil bekas. Mulutnya tak henti melantun rayuan-rayuan ala promotor kosmetik kecantikan. Aroma mulutnya menyengat. Siapa peduli, sebab di pikirannya hanya tentang pensil yang harus terjual. Sekali-kali dia mengumpat kekesalannya pada tetangga. “Belum makan dari semalam. Tetanggaku tak pernah peduli. Suamiku lari. Aku sendirian. Tolong mas.” Tak terkejut aku dengan tuturan-tuturan itu. Aku anggap semua itu bagian dari peluluhan. Orang-orang sekitar mulai lalu lalang di sekitar kami. Seketika aku sadar waktuku telah termakan habis oleh perhentian sial ini. Aku menolak dengan dalil tak punya uang kecil. Namun dia tak cepat menyerah. “Kapan saja mas punya uang. Sekarang ambil pensil ini.” Wah, ini menguji rasa kemanusiaanku. Sejurus kemudian aku mengalah. Waktuku sudah tersita habis di hadapan wanita begal ini. “Terima kasih mas. Kamu tidak seperti tetangga-tetanggaku!” Aku seolah tuli dan menghilang dari hadapannya.

Pembicaraan seputar Jln. Minto menjadi hangat akhir-akhir ini. Tentu orang-orang membicarakan sosok tante begal. Keluhan sana sini terdengar. Sebagian merasa resah dengan keberadaannya. Bahkan seorang mahasiswa mengeluh pada pak RT perihal tante begal yang suka memaksa. Akibat cerita tante begal itu, kini Jln. Minto sepi pejalan kaki maupun motor. Lorong 2 meter lebih itu gamang. Hanya satu dua orang melewatinya, itu pun anak-anak. Bahkan ketika malam minggu tiba gang kecil itu tetap kesepian pengguna.

Keberadaan tante begal makin tak dihiraukan pengguna jalan. Praktik pemaksaannya selama ini membuat orang tak lagi bersimpati. Ketika melewati Jln. Minto orang berpura-pura tidak melihatnya. Tak sedikit pun memberi perhatian pada ucapannya. Mereka menyangkal keberadaan tante begal. Seharian sudah dia berdiri di sana. Semua orang yang lewat dia tawari tapi tak satu pun pensil terjual. Masa-masa kemunduran tante begal telah terlihat.

Di pagi berikutnya pemandangan tidak biasa terjadi di gang kecil itu. Orang semakin banyak melewatinya. Tapi bukan untuk melewati melainkan berkerumun. Satu dua orang berjalan tergesa-gesa menghampiri kerumunan. Beberapa di antaranya masih bersarung dengan muka yang belum diairi. Kelopak mata mereka masih belum mau bangun namun kali ini harus bangun. Satu dua pekerja kantor ikut meramaikan kerumunan itu. Tak ingin ketinggalan anak-anak pun dengan sergap menerobos ke setiap lengan orang dewasa. Dalam sekejap anak-anak ini menembus garis terdepan dan mendapati tante begal tak sadarkan diri dengan bekas pukulan pada bibir.

Sejak insiden pagi itu tante begal tak pernah menunjukkan batang hidungnya lagi. Tak sedikit orang merasa lega dengan hilangnya si pemaksa itu. Jln. Minto kini telah ramai. Seramai dulu sebelum tante begal datang. Bahkan di pinggir jalan mulai bermunculan kedai-kedai tempat orang menghabiskan malam minggu. Orang-orang semakin santai melewati gang itu tanpa mengintip kiri kanan memastikan keberadaan tante begal. Semua merasa aman pasca kehadirannya. Tak ada lagi yang takut dibegal. Tak ada lagi cerita begal di tempat nongkrong.

Menyaksikan keramaian Jln. Minto terasa aneh. Siapa sangka, gang sempit ini menjelma bak pasar malam. Geliat para pemuda berdatangan bukan saja di malam minggu tapi setiap malam selalu ramai. Warga sekitar Jln. Minto antusias menyambut perubahan besar ini. Warteg dan kedai berdiri sepanjang gang. Gemerlap di malam hari menenggelamkan cerita tante begal. Pelaku usaha di tempat itu mengaku diberkahi setelah sekian lama di buat resah oleh tante begal. “Saya yakin ini berkah dari Tuhan.” Ujarnya.

Jln. Minto tak hanya di isi oleh para penjual namun sekarang muncul kelompok penyanyi lokal  yang membuatnya semakin hidup di malam hari. Orang semakin berdatangan menikmati perubahan gang kecil itu. Lambat laun muncul satu dua suara minor menentang perubahan di Jln. Minto. Salah satunya dari bapak.

Beberapa hari belakangan ini bapak mulai resah dengan keributan di Jln. Minto. Setiap malam mendengar musik dengan volume tinggi bisa membuat bapak stres. Merasa perlu dibenahi bapak lalu mengundang tetangga membicarakan hal ini. Keputusan akhir sepakat akan mengajukan keluhan ini pada lurah. Konsensus kecil ini menyebar dengan cepat. Drama menolak dan mendukung pun bermunculan. “kalian tidak memikirkan nasib kami. Egois!” Para pemilik kedai dan warteg dengan tegas menolak. “Tapi tanpa musik yang keras.” Kata ayah.

“Tidak mungkin!!” Bantah mereka.

Debat kusir di kantor lurah itu belum menemui kata sepakat. Semua dalam rutinitas masing-masing. Kebisingan di Jln. Minto tak ubahnya. Bapak dan kelompoknya tidak tenang dengan kehidupan malam di gang itu. Semalam larut semakin mereka merindukan ketenangan. Ya, mereka merindukan sosok tante begal. Tak ada bantahan kalau memang tante begallah yang menciptakan ketenangan dan kesunyian di gang kecil itu.

Hari demi hari kerinduan itu semakin jelas dan meluas. Semua orang di sekitar gang tante begal itu merindukan suasana tenang yang dulu. Semalam pun tak apa. Mereka menikmati malam yang berisik. Jauh dari perasaan melepas lelah seharian. Malam mereka tak ubahnya dengan siang. Beberapa keluarga mengganti kontrakan untuk lari dari malam tak pernah diinginkan itu. Seberapa pun kuat mereka merindu pada suasana yang dulu, tak ada yang bisa mengembalikannya. Sosok yang tak pernah kami hiraukan kini menjelma menjadi dahaga setiap orang. Aku yakin dia muak dengan segala yang dia alami di gang itu. Dia menghilang tapi bukan telah hilang.

Dia masih wanita paruh baya yang meminta-minta.

Sponsored links
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNY

Sejak lama menyukai sastra terutama menulis cerpen dan juga sangat sensitif terhadap isu sosial politik.

Artikel Lainnya: