Politik (Harus) Masuk Kampus!
Masuknya para capres ke lingkungan kampus bisa menghidupkan kembali tradisi intelektual yang telah lama mati. Legalitas ini termaktub dalam putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 dengan catatan selama tidak menyertakan atribut kampanye dan atas undangan pengelola. Keputusan tersebut telah membawa angin segar bagi sisi akademis mahasiswa. Persoalan mendasar yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan sikap apatis berlebihan pada mahasiswa. Mereka apatis terhadap isu sosial, isu lingkungan, termasuk isu politik yang oleh mahasiswa jaman dulu dianggap sebagai isu paling sentral. Saat ini, mahasiswa tampak kehilangan identitas diri sebagai kalangan muda yang dianggap memiliki peranan dalam menyampaikan dan mempertahankan pandangan mereka (Francois Raillon, 1985). Identitas mahasiswa jaman dahulu sebagai “agen of change” yang sensitif terhadap segala isu, termasuk politik, nyaris tidak ditemukan lagi saat ini.
Adu gagasan capres di lingkungan kampus mungkin menandai babak baru bahwa mahasiswa sebenarnya adalah subjek dari politik bahkan pemilu itu sendiri. Kedudukan mahasiswa berbeda dengan masyarakat awam dalam diskursus tentang politik dan pemilu. Jika masyarakat dijadikan objek kampanye politik dengan berbagai janji-janji manis, mahasiswa hadir dengan cara yang berbeda. Mahasiswa harus mempengaruhi diskursus politik dan pemilu, termasuk janji kampanye para capres yang sedang berlangsung. Sebagai kalangan yang memiliki sejarah tradisi intelektual yang kuat, suara mahasiswa tidak boleh tenggelam oleh janji-janji kampanye para elit politik. Dinamika dan diskursus politik saat ini memerlukan pemikiran kritis dari mahasiswa agar terhindar dari pembodohan.
Cita-cita untuk mengembalikan marwah kalangan intelektual adalah suatu tugas yang tidak mudah. Mentalitas mahasiswa saat ini menunjukkan kultur yang jauh dari kata “intelektual”. Kultur yang lebih mengutamakan penampilan fisik daripada isi pikiran. Kultur yang mementingkan apa yang seseorang kenakan daripada apa yang seseorang baca. Akibatnya, terbentuklah kultur akademik hiburan (Sair, 2016). Hal yang sama terjadi dalam diskursus politik dan pemilu. The Conversation melaporkan pada April 2022, dari sejumlah mahasiswa yang dimintai informasi, hanya 27% yang mencoblos, sisanya 73% memilih golput. Penelitian itu dilakukan secara daring terhadap 497 responden yang tersebar di 26 perguruan tinggi di Indonesia. Temuan serupa dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa dari responden yang berusia di bawah 21 tahun yang ikut memilih saat pilkada 2020, hanya sebesar 39% yang mencoblos. Realitas ini seharusnya menjadi perhatian. Mahasiswa seharusnya merasa malu dengan kondisi bangsa yang sedemikian semrawut. Berdiam diri dan apatis bukan solusi, malah menyumbang masalah ke dalam kehidupan bersama.
Peran mahasiswa tidak hanya sebagai agen of change. Mereka juga harus hadir sebagai “social control” yang menggiring diskursus politik dan mengawal jalannya proses kampanye para capres. Francois Raillon (dalam Sair, 2016) mengartikan mahasiswa sebagai kelompok yang memiliki kesamaan cita-cita dan selalu memainkan peran yang menentukan dalam dinamika politik. Berpikir kritis dan bernalar yang logis akan membuat mahasiswa menjadi pengawal demokrasi yang tangguh dan tidak mudah dijadikan objek kampanye.
Peran kampus sebagai institusi yang memproduksi pengetahuan politik (Sair, 2016) sangat penting. Perguruan tinggi harus menjadi wadah yang kondusif bagi mahasiswa untuk beradu pemikiran dan mengasah kemampuan berpikir kritis. Kampus seharusnya menjadi tempat munculnya ide dan gagasan kritis terhadap para capres. Namun, kultur intelektual kampus yang menjadi corong suara perubahan tampaknya telah lama menghilang. Seperti kata Abdus Sair, kampus di era sekarang dinilai hanya sebagai industri yang menghasilkan tenaga kerja, bukan pemikir dengan kultur intelektual yang mapan.
Momen ketika capres masuk kampus adalah kesempatan untuk menghidupkan kembali kultur intelektual mahasiswa, khususnya dalam diskursus politik dan pemilu. Gagasan yang diajukan kepada capres seharusnya muncul dari debat mahasiswa terlebih dahulu. Kepekaan mahasiswa dalam membaca keresahan masyarakat adalah salah satu kelebihan yang mereka miliki.
Bagaimana bisa kota pelajar sekelas Jogja hanya memiliki satu universitas yang mengundang capres?