Yang Murah Dari Yogyakarta
Yogyakarta terkenal dengan senyum dan hati masyarakatnya yang murah. Keramahan dan kedermawanan masyarakat Jogja menjadi daya tarik yang mudah didapat. Namun, bagaimana dengan biaya hidup sehari-hari? Apakah semurah yang dikatakan orang-orang? Kita harus mempertimbangkan kembali apabila mendengar tentang murahnya biaya hidup di Yogyakarta.
Memang, uang yang kita keluarkan untuk makan dan minum di warung-warung lokal relatif lebih murah dibandingkan daerah lain. Namun, kehidupan sehari-hari tidak hanya tentang makanan dan minuman. Ada banyak biaya lain seperti harga rumah, tanah, listrik, air, internet, dan kebutuhan dasar lainnya. Realitanya, biaya-biaya tersebut di Yogyakarta masih setara dengan daerah lain. Ironisnya, UMR (Upah Minimum Regional) di Yogyakarta jauh lebih rendah dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Lantas, apa dampak dari rendahnya UMR di Yogyakarta sementara biaya hidup tidak semurah yang dibayangkan?
Masyarakat asli Yogyakarta cenderung hidup dengan konsep “nrimo ing pandum” atau hidup dengan seadanya. Generasi muda asli daerah ini lebih memilih merantau ke daerah lain untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Rumah-rumah di Yogyakarta dengan harga yang sangat tinggi sebagian besar dibeli oleh konglomerat yang ingin menikmati masa tua jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Akibatnya, masyarakat asli Yogyakarta semakin tergeser dari tanah mereka sendiri karena pendapatan yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Kesimpulannya, Yogyakarta saat ini lebih banyak membanggakan romantisme daerahnya. Pemerintah daerah yang dikelola dengan model kerajaan yang ketat dalam aturan menyebabkan kurangnya minat investor untuk berbisnis di sini. Wisatawan menjadi penyokong utama perekonomian masyarakat, tetapi ini dilakukan tanpa memperhatikan penataan kota yang baik. Selain itu, mahasiswa juga menjadi penopang ekonomi dengan banyaknya konsumsi harian dari mahasiswa negeri maupun swasta di Yogyakarta.